Sebuah catatan...
Rencana produksi film nasional berjudul Menculik Miyabi mengusik perhatian. Sebagaimana selama ini bila bersinggungan dengan soal aurat atau syahwat, ada suasana gawat, darurat, perlu tindakan cepat.
Miyabi sendiri, rasa-rasanya, "nggak penting-penting amat" sehingga harus diangkat ke dunia film atau juga diributkan. Namun membicarakan dan mendudukkan persoalan mungkin berguna. Karena gesekan seperti ini masih akan ada, sebagai dinamika kita bersama ketika berada dalam situasi yang lebih terbuka.
1.000 Miyabi
Miyabi adalah gadis blasteran, keturunan campuran yang selalu dimanjakan oleh dunia hiburan. Dia punya beberapa nama alias-- tak ada hubungannya dengan nama alias beberapa teroris--dengan ratusan judul film/DVD yang memang supersaru, porno total, dalam berbagai pengadegan yang hanya ada dalam khayal.
Dalam teknologi komunikasi sekarang ini, internet adalah media yang tepat, cepat, dan kuat memosisikan dia sebagai bintang porno. Termasuk muncul banyak blog atau fans club yang menamakan diri sebagai Miyabi Fanclub Indonesia dengan berbagai komentar yang melibatkan emosi secara emosional. Misalnya mereka prihatin-- dan mengumpulkan suara protes-- pada judul tertentu di mana Miyabi diperkosa. Menggelikan, tapi dalam dunia maya segala sesuatu bisa terjadi.
Dalam situs seperti itu, Miyabi bukan satu-satunya yang hot, yang semlohe, yang panas. Ada nama Jade Hsu--yang juga punya banyak nama lain, juga blasteran, juga punya fans club di sini. Ada juga bintang lokal yang bernama Chicka. Untuk yang terakhir ini, nama Chicka pernah juga menjadi judul film-- walau tak ada hubungan langsung dengan si cantik imut yang masih belasan tahun. Artinya ada 1.000 Miyabi lain yang kurang lebih sama. Mereka menjadi populer karena teknologi komunikasi memungkinkan itu.
Mereka dalam arus "industri lendir" yang mempunyai penggemar tersendiri. Popularitas ini yang menempatkan mereka sebagai selebritas, celebrity. Artinya mereka yang menjadi populer dan makin populer karena populer atau dipopulerkan. Bukan karena prestasi dalam disiplin kerja profesi mereka. Aktingnya-- siapa yang mau nonton Miyabi dari segi akting--mendesah dan mengaduh tak beda dengan yang lain.
Bahwa rada-rada mulus dan kelihatan imut, maklum saja pengarah kameranya memang jempolan dan produksi sekarang memang benarbenar nyaman dilihat. Itu bila dibandingkan 10 tahun lalu di mana jenis begini dibuat dengan asalasalan, dengan bujet seadanya, dan belum dipasarkan secara massal.
1.000 Alasan
Kehadiran para selebritas inilah yang menarik perhatian, menjadikan salah satu dari "1.000 alasan" untuk dijadikan modal sebagai artis dalam sebuah produksi film dan atau sinetron. Masih hangat dalam ingatan bagaimana seorang Manohara tiba-tiba menjadi bintang utama dan sinetron yang dijuduli dengan namanya-tapi bukan Menculik Manohara meskipun kisah sebenarnya ada unsur culik menculik.
Ini adalah gejala yang terjadi dalam dunia komunikasi massa sekarang ini. Hanya ketika "artis" itu menyangkut nama Miyabi, jadilah masalah. Maxima, perusahaan yang akan memproduksi film ini, melihat modal selebritas, popularitas sebagai adonan yang bisa mendatangkan pembeli karcis. Maxima selama ini mempunyai tempat yang pantas dalam jajaran produser film. Produknya cukup punya kelas, beberapa judul bahkan berani melawan arus. Pastilah bukan ingin membuat film porno karena tema yang diusung berjenis komedi.
Masalahnya memang pada nama Miyabi itu sendiri, dengan segala gambaran yang sudah ada. Inilah yang berubah menjadi ketegangan, dengan protes dalam bentuk demonstrasi--yang kali ini cukup santun. Ketegangan yang mengganggu dan akan berada dalam jalan buntu kalau kedua pihak tak mencapai titik temu permasalahannya. Pihak pertama antipati, pihak kedua meminta menunggu, bagaimana hasil akhir nanti? Apakah perlu diributkan atau tidak?
Menurut saya--berulang kali saya katakan menurut saya yang berarti tak usah diturut juga tak apa--, cara mempersoalkan seperti itu tak memberi jalan keluar. Kemungkinan dialog tetap menjadi monolog dan kepentingan lain yang menguat.
1.000 Pilihan
Bentrokan kepentingan dengan mengatasnamakan moralitas dan seksualitas sebenarnya tak ada hubungannya, mana yang harus dijadikan skala prioritas? Apalagi, film nasional yang mampu bangkit dan melejit walau kondisi industrinya masih terjepit tak butuh seorang Miyabi. Untuk berjaya kembali ternyata bisa dengan Laskar Pelangi atau Arisan atau Ketika Cinta Bertasbih.
Dengan kata lain, banyak pilihan lain yang non-Miyabi. Dari sisi yang lain, biarkan saja Miyabi-- atau Jade Hsu atau nama lain itu-- berada dalam dunianya-- yang barangkali juga pilihan sesat atau nikmat. Tak banyak makna memindahkan posisi selebritas ke posisi yang lain. Biarlah citra itu menjadi bagian dari pilihan hidupnya dengan konsekuensi tersendiri. Kecuali kalau--hanya kalau-- misalnya memang Miyabi sekarang sadar dan berniat main film secara bersungguh-sungguh.
Akan lain permasalahannya, lain akar dan persoalan yang menjadi bingkai sehingga gagasan kreatif yang mendasarinya berbeda. Barangkali juga, hal semacam ini lebih perlu diwaspadai. Sebab, memusuhi Miyabi--yang tak penting itu--atau alergi pada yang dianggap tidak layak kadang bisa membutakan. Karena sebenarnya kisah atau tema atau bahkan judul lain kalau dicermati lebih perlu diprotes.
Misalnya saja, judul seperti Namaku Dick, ML, Basahhh, Masukin Aja atau variasi dari kata-kata itu dari segi kepantasan pun perlu dipertanyakan. Sesungguhnya inilah masalah utama dan terutama dalam industri perfilman ketika nilai-nilai moralitas dan amoralitas dipertanyakan untuk menemukan jawaban.
1.000 Judul
Akan lebih dewasa dan menguntungkan jika persoalan perfilman kita bertumpu pada bagaimana dunia hiburan ini bisa menjadi industri besar--dengan segala kreativitas dan secara ekonomi berarti bagi masyarakat perfilman umumnya.
Bagaimana sebuah produksi film bisa seutuhnya dan sepenuhnya diproduksi dalam negeri oleh anak-anak negeri ini? Kenyataannya untuk menggrade warna, untuk ilustrasi suara jangkrik atau ayam pun perlu ke luar negeri. Bagaimana tata krama berproduksi, tata krama berdistribusi, bagaimana industri lain-- perbankan misalnya--menopang dan memberi kemudahan. Bagaimana menciptakan suasana sehingga bisa mencapai angka 1.000 judul per tahun, bagaimana bisa mengekspor dan atau berjaya dalam berbagai festival--yang juga ratusan jumlahnya--, bagaimana menjaga kelangsungannya sebagai industri?
Bukannya kasus Miyabi tidak penting. Kasus ini menjadi penting karena ternyata masih ada dan dipersoalkan. Kasus ini ada untuk menjadikan kita lebih dewasa dan mempunyai alasan pas ketika mengatakan: gak penting amat.(*)
Arswendo Atmowiloto
Budayawan
http://news.okezone.com/read/2009/10/14/58/265397/miyabi-nggak-penting-kali
Continue Reading..
Sejarah Awal Tarekat dan Nama Aliran Tarekat
1 bulan yang lalu